Jumat, 21 Juni 2013



MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT
TENTANG
PERKAWINAN ATAU PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh :
v  MAUIZATUL HASANAH : 152.112.081



FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MATARAM
2013

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada nabi besar kita Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ilmiah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “perkawinan atau pernikahan dalam Islam” guna untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah fiqih munakahat.
Penulis meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih sempurna lagi.
Akhirnya kepada Allah juga lah penulis memohon ampun, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…..

Mataram, 10 Juni-2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Sesuai hakekat manusia yang merupakan mahluk yang telah diciptakan Allah sebagai mahluk yang paling sempurna dari mahluk-mahluk lainya dan yang membedakannya dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkannya selalu hidup bersama dengan mahluk sejenisnya didalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-sayarat terentu disebut perkawinan.
Perkawinan ini disamping merupaka sumber kelahiran yang berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup bersama (perkawinan) itu.
Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang  lain. Di dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan juga didalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.[1] Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengertian perkawinan, tujuan dilakukannya, syarat dan rukun perkawinan menurut agama Islam dan semua yang berkaitan dengan pernikahan serta mengetahui pengaturan perkawinan yang terdapat dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 terhadap perkawinan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa : al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul,[2] atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[3] Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal dari bahasa arab ”nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”, sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai ”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. [4]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nikah atau kawin itu sendiri.
1.      Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan pasangannya.
2.      Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz semakna dengan keduanya.
3.      Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wati’ (bersenggama), bersenang-senang menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4.      Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan dengan seorang wanita.    
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[5]
B.     DASAR HUKUM ANJURAN UNTUK KAWIN
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ                                
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).
                              Hadist Rasulullah juga menjelaskan bahwa : ”barang siapa mampu kawin,  maka hendaklah kawi, kemudian jika tidak mau kawin, maka ia tidak tergolong ummatku. (HR. Al-Thabrani dan Al-Baihaqi). [6]
 Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana firman Allah SWT. :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).[7]
C.    Hukum Nikah
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya.dari tingkat kebutuhan yang berbeda ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan kepada beberapa kategori. Sebagian ulama membaginya kepada lima kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :  
a. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b.Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah sunat.
c. Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib bagi orang muslim satu kali seumur hidup.[8]
d.                                                                                                            Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari perkawinan itu, yaitu :
1). Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan.
2). Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk kawin tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina
3). Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak
4). Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya walaupun tidak merugikan istri
5). Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang mewajibkan dan mengharamkan untuk kawin.[9]
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan kembali kepada hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[10]
D.    Rukun dan Syarat Perkawinan
Dalam melaksanakan pernikahan, syarat dan rukunnya harus terpenuhi. Sebab  akan berakibat pada sah atau tidaknya pernikahan tersebut baik menurut hukum Islam maupun pemerintah. Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak sah.
1.   Rukun pernikahan
Rukun nikah menurut versi As-Syafi’i yang diadopsi oleh kompilasi hukum Islam pasal 14 meliputi lima hal, yaitu :
(1). Calon suami,
(2). Calon istri,
(3). Wali,
(4). Dua orang saksi, dan
(5). Shigat Ijab Qobul.[11]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun nikah terdiri dari :
1. Adanya  Calon suami istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan
3. Adanya dua orang saksi
4. Sighat akad nikah, yaitu ijab dan kabul
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah rukun nikah, antara lain : Imam Malik menetapkan rukun nikah lima macam, yakni: wali, mahar, calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad.
Menurut ulama’ hanafiyah menetapkan rukun nikah hanya dua, yaitu ijab dan kabul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki. Sementara yang lain berpendapat bahwa rukun nikah ada empat, yaitu ijab kabul, calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki dan wali.
2.   Syarat nikah
      Rukun nikah di atas mempunyai persyaratan-persyaratan yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Syarat yang berhubungan dengan kedua calon mempelai yaitu Mempelai Laki-laki dan perempuan
Dalam setiap akad nikah maka pihak yang melakukan akad nikah itu mempunyai sifat ahliyatul ada’ yaitu baligh, berakal, dan sehat serta tidak ada halangan hukum syara’ diantara keduanya. Dalam islam kedua calon mempelai memenuhi persyarata sebagai berikut :
1.      Keduanya mempunyai identitas dan kederadaan yang jelas
2.      Keduanya beragama islam. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 dijelaskan bahwa :
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah [2] :221).
3.      Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan.[12]
 Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam disyaratkan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang memenuhi kategori sebagai berikut:
1.   Telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sedangkan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
2.   Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan , lisan atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
3.   Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
4.   Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.
b. Syarat yang berhubungan dengan Wali
Wali merupakan salah satu rukun nikah. Wali nikah adalah orang yang mengakadkan nikah menjadi sah. Seorang wali harus memenuhi persayaratan menjadi wali nikah seperti:
1.      Islam,
2.      dewasa (baligh),
3.      mempunyai hak perwalian,[13]
4.      waras akalnya,
5.      tidak dipaksa,
6.      laki-laki yang cakap dan adil,
7.      tidak sedang ihram.[14]
Mengenai siapa yang lebih utama menjadi wali, para ulama’ berbeda pendapat. Mazhab syafi’i mengatakan bahwa wali itu ada di pihak mempelai perempuan, dan yang lebih berhak dan lebih utama jadi wali adalah ayah kandungnya dan bila ayah kandungnya tidak ada atau ada tetapi tidak bisa melaksanakan hak-hak kewaliannya, baru bisa beralih kepada yang lain. Peralihan hak wali dari ayah kepada yang lain, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama beralih kepada kakek, yaitu menurut garis lurus ke atas dan seterusnya menurut urutannya. Sedangkan kemungkinan kedua adalah beralih kepada wali hakim. Beralihnya perwalian dari ayah kepada garis lurus ke atas dan atau garis lurus ke bawah dan seterusnya, hal ini terjadi bila ayahnya meninggal dunia, tidak maujud karena tidak memenuhi syarat wali seperti sebab gila, bisu, sudah sangat tua/uzur syar’i, sedang menjalani hukuman penjara, mafqud/tidak diketahui alamatnya, bisa juga karena kafir/murtad. Sedangkan beralihnya wali kepada wali hakim, hal ini terjadi apabila seluruh urutan pihak wali nasab sudah tidak ada ataupun wali ada tetapi pada urutan paling dekat dari wali nasab ternyata terdapat halangan untuk melaksanakannya, umpamanya, sedang mengerjakan ihram, masih sedang menjalani hukuman penjara, atau karena wali yang berhak menolak/adhal. Karena semua yang berhak menjadi wali terdapat halangan, maka wali beralih kepada wali hakim.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yang termasuk wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekeluargaan dengan calon mempelai wanita.
1.      kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2.      kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
3.      kelompok kerabat paman , yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4.      kelompok saudara laki – laki kandung kakek, saudara laki – laki seayah kakek dan keturunan laki – laki mereka.
c. Dua orang saksi
Mengenai syarat-syarat saksi sebagai penentu sahnya nikah adalah sebagai   berikut:
1. Saksi harus beragama Islam
2. Saksi adalah orang yang baligh dan berakal
3. Saksi harus mampu mendengar dan faham maksud pembicaraan dua  orang yang melakukan akad nikah
4. Saksi itu adalah orang yang merdeka
5. tidak sedang ihram,[15] dan
6.  Saksi itu orang yang adil
Mengenai siapa yang boleh menjadi saksi, apakah laki-laki atau perempuan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa saksi-saksi itu disyaratkan dua orang laki-laki, tidak boleh gabungan dua perempuan dan satu laki-laki. Mengenai hal ini di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa:
1. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi .
2. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
3. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
d. Ijab dan kabul
  Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1. Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
3. Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4. Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
e. Mahar (maskahwin)
 Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ [4] : 4).[16]
E.     Tujuan Nikah (Perkawinan)
Tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina untuk sekadar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan yang diajarkan Islam meliputi multiaspek. Perkawinan adalah satu-satunya syari’at Allah yang menyiratkan banyak aspek didalamnya. Diantara aspek-aspek tersebut adalah :
1.Aspek personal
a. Untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara sah dan halal antara laki-laki dan perempuan
Allah swt. Berfirman :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187).
b.Reproduksi generasi atau untuk memperoleh keturunan
Allah SWT. berfirman :
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”(QS. Al-Kahfi : 46).[17]
Sabda rasulullah saw. Yang artinya : ”Nikahlah kamu, sesungguhnya aku menginginkan darimu ummat yang banyak.”
2.Aspek sosial
a. Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik
b.Membuat manusia kreatif
3.Aspek ritual
Dalam sebuah hadist nabi Muhammad SAW. Dijelaskan :
apabila seorang hamba menikah, sempurnalah sebagian agamanya, maka bertakwalah kepada Allah akan sebagian yang lain.”
4.Aspek moral
5.Aspek kultural[18]
F.     Larangan Dalam Perkawinan
1. Perempuan-perempuan yang boleh dinikahi dan yang haram dikawini
Perempuan yang tidak masuk dalam kategori di bawah ini adalah boleh/halal untuk dikawini. Sedangkan yang haram/dilarang adalah disebabkan:
1. Karena Nasab atau hubungan darah (keturunan) yaitu :
a. Ibu Kandung
b. Anak Perempuan kandung
c. Saudara Perempuan
d. Bibi dari Pihak Ayah
e. Bibi Dari Pihak Ibu
f. Keponakan atau Anak Perempuan Saudara Laki-laki
g. Keponakan atau Anak Perempuan Saudara Perempuan
2. Karena Perkawinan
a. Ibu Istri, Neneknya dari pihak ibu, Neneknya dari pihak ayah, dsn ke atas
b. Anak tiri perempuan yang ibunya sudah digaulinya
c. Istri anak kandung, istri cucunya baik yang laki maupun perempuan dan seterusnya
d. Ibu tiri
3. Karena Susuan
a. Ibu susu
b. Ibu dari yang menyusui
c. Ibu dari bapak susunya
d. Saudara Perempuan dari ibu susunya
e. Saudara perempuan bapak susunya
f. Cucu perempuan ibu susunya
g. Saudara perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau sekandung[19]
Firman Allah swt. Dalam surat an-nisa’ ayat 23 Menerangkan bahwa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An- Nisa’ : 23).
Selain ketiga kategori di atas dilarang juga melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu seperti:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan  pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
4. Memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya: saudara sekandung, seayah, atau seibu serta keturunannya; wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
5. Laki-laki yang sedang mempunyai 4 orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i
6. Wanita bekas istrinya yang ditalak 3 kali
7. Wanita bekas istrinya yang dili’an
8. Wanita Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam
G.    Hak dan Kewajiban Suami istri dalam rumah tangga
1. Kewajiban suami terhadap istri:
a. Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafaqah.
Di dalam al-Qur’an dikatakan:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Baqarah: 233).
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalaq: 7).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.(QS. Al-Baqarah: 215)
Dari redaksi ayat-ayat di atas dapat difahami bahwa nafkah merupakan pemberian suami atas istri. Ia adalah hak istri dan merupakan kewajiban suami atas istrinya. Perkawinan merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam kehidupan rumah tangga.
b. Kewajiban yang tidak bersifat materi
yakni menggauli istri secara baik dan patut, memimpin rumah tangga, menasehati istri dan memberi pelajaran bila menyeleweng.
Di dalam al-Qur’an dijelaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
  Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-Nisa’: 19)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
                                                                    
  Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS. An-Nisa’: 34)
2. Kewajiban istri terhadap suami
a. Menyenangkan suami
b. Patuh kepada suami
c. Memelihara kehormatan diri dan harta suaminya
d. Tidak keluar rumah tanpa izin suami
e. Tidak menerima tamu yang tidak disukai suami
f. Tidak bermuka asam/cemberut di hadapan suami
3. Hak bersama suami istri
a. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya
b. Mendapat/ berprilaku yang baik dan sewajarnya
c. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan mushaharah
d. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian
e. Timbulnya hak harta bersama antara suami istri
f. haram melakukan pernikahan dengan saudara masing-masing
g. anak mempunyai nasab yang jelas[20]
4. Kewajiban bersama suami istri
a. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut
b. Mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Alloh untuk terwujud, yakni sakinan, mawaddah, warahmah
c. Pergaulan yang ma’ruf/saling menjaga rahasia masing-masing
d. Pergaulan yang aman dan tenteram
e. Pergaulan yang saling mencintai
f. Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni
H.    Hikmah Nikah
1. menyambung silaturrahmi
2. memalingkan pandangan yang liar
3. menghindari diri dari perzinahan
4. estafeta amal manusia
5. estetika kehidupan
6. mengisi dan menyemarakkan dunia
7. menjaga kemurnian Nasab.[21]
8. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. ”dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang
9. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah
10. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan
11. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya
12. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak
13. Menyatukan keluarga masing-masing pihak sehingga hubungan silaturrahim semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak
14. Memeperpanjang usia. Hasil penelitian masalah kependudukan yang dilakukan PBB pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.















BAB III
PENUTUP

                Kesimpulan yang dapat saya petik dari uraian penjelasan diatas yaitu sebagai berikut : Pertama, Definisi tentang nikah Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. Sedangkan Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kedua, hukum anjuran untuk menikah itu sudah jelas sangat dianjurkan oleh Allah swt. Dalam firmanya surat An-Nur ayat 32. Dan Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya.dari tingkat kebutuhan yang berbeda-beda, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan kepada beberapa kategori yaitu wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah (boleh).
Ketiga, Dalam melaksanakan pernikahan, syarat dan rukunnya harus terpenuhi. Sebab  akan berakibat pada sah atau tidaknya pernikahan tersebut baik menurut hukum Islam maupun pemerintah. Dan syarat dan rukun yang dimaksud tersebut sudah sangat jelas diuraikan diatas sehingga apabila ada orang yang akan melakukan pernikahan maka harus memenuhi syarat dan rukun tersebut sehingga pernikahan tersebut sah, tetapi apabila salah satu dari syarat atau rukun nikah tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak sah.
Keempat, Tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina untuk sekadar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan adalah satu-satunya syari’at Allah yang menyiratkan banyak aspek didalamnya.
Kelima. Didalam pernikahan juga telah disebutkan orang-orang yang boleh dinikahi dan haram untuk dinikahi karna berkaitan dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan tersebut.
Keenam, inti dari hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga ialah memelihara kehormatan kedua belah pihak dan membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.



















DAFTAR PUSTAKA

Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf. 2006. TRADISI ISLAM : Panduan Proses Kelahiran - Perkawinan - Kematian. Surabaya : Khalista.
Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H.. 2009. FIQIH MUNAKAHAT : Kajian Fiqih Nikah Lengkap. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc. 2010. Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar. Surabaya : Khalista.
Djamaan, Nur. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang : Dimas.
Junaedi, Dedi. 2000. Bimbingan Perkawinan : Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Hakim, Drs. H. Rahmat. 2000. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Saleh, H.E. Hassan. 2008. Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, (Jakarta : Wacana Intelektual, 2007), hlm.22
Sulaiman, Al-Mufarraj. 2003. Bekal pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kta mutiara. Jakarta : Qisthi Press



[1] UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, (Jakarta : Wacana Intelektual, 2007), hlm.22
[2] Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kta mutiara,  (Jakarta : Qisthi Press, 2003), Hlm. 5
[3] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., FIQIH MUNAKAHAT : Kajian Fiqih Nikah Lengkap. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009), Hlm. 7
[4] Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), Hlm. 11-12
[5] Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar,  (Surabaya : Khalista, 2010), Hlm. 8
[6] Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf, TRADISI ISLAM : Panduan Proses Kelahiran - Perkawinan - Kematian. Surabaya : Khalista, 2006), Hlm. 90
[7] Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Ibid, Hlm. 11
[8] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dimas, 1993), Hlm. 9
[9] Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan : Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah, (Jakarta : AAkademika Pressindo, 2000), cet. 1, Hlm. 27-33
[10] Hakim Drs. H. Rahmat, Ibid, Hlm. 14
[11] Saleh H.E. Hassan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Hml. 299. Lihat juga dibuku yang ditulis oleh Drs. H. rahmat hakim, hukum perkawinan islam,  hlm. 82
[12] Saleh H.E. Hassan, Ibid,  Hml. 301
[13] Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Ibid, Hlm. 17
[14] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 13
[15] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 14
[16] Saleh H.E. Hassan, Ibid,  Hml. 313
[17] Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf, Ibid, Hlm. 107
[18] Hakim Drs. H. Rahmat, Ibid,  Hlm. 15-26
[19] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 67 lihat juga dibuku yang ditulis oleh Drs. H. Rahmat Hakim, hukum perkawinan islam,  hlm. 54
[20] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 154
[21] Hakim Drs. H. Rahmat, ibid, hlm. 27-30

1 komentar:

  1. How to Play Baccarat Online | Learn the Rules of the Game - FBCasino
    Baccarat 바카라 is a deccasino new card 제왕 카지노 game similar to playing a traditional casino game like slots. It was developed in the United States by Pariplay Limited and

    BalasHapus