MAKALAH
FIQIH MUNAKAHAT
TENTANG
PERKAWINAN
ATAU PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Disusun Oleh :
v MAUIZATUL
HASANAH : 152.112.081
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2013
KATA
PENGANTAR
Assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Segala
puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga
senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada nabi besar kita Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan
yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ilmiah ini
dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “perkawinan atau pernikahan dalam
Islam” guna untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah fiqih munakahat.
Penulis
meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat
mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat
dengan yang lebih sempurna lagi.
Akhirnya
kepada Allah juga lah penulis memohon ampun, semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…..
Mataram, 10
Juni-2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai hakekat manusia yang merupakan mahluk yang telah
diciptakan Allah sebagai mahluk yang paling sempurna dari mahluk-mahluk lainya
dan yang membedakannya dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam
sejak dilahirkannya selalu hidup bersama dengan mahluk sejenisnya didalam suatu
pergaulan hidup. Hidup bersama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik
yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria
maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia
lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria
dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-sayarat terentu disebut
perkawinan.
Perkawinan ini disamping merupaka sumber kelahiran yang
berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian juga merupakan tali
ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara.
Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat
yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun
terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup bersama (perkawinan) itu.
Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar
perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan
tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama
sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan
pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan
atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki
peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama.
Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan
keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah
apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan
itu sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang
lain. Di dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila, dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka
perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau
kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani
tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan
mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan
juga didalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan
bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.[1]
Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam
hukum positif kita. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
pengertian perkawinan, tujuan dilakukannya, syarat dan rukun perkawinan menurut
agama Islam dan semua yang berkaitan dengan pernikahan serta mengetahui pengaturan
perkawinan yang terdapat dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974
terhadap perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa : al-jam’u
dan al-dhamu yang artinya kumpul,[2] atau mengumpulkan,
dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa diartikan
dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u
al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[3] Definisi
yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal dari bahasa arab ”nikahun” yang
merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”, sinonimnya ”tazawwaja”
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai ”perkawinan”.
Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah yaitu
suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan)
dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. [4]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam
mendefinisikan nikah atau kawin itu sendiri.
1.
Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang
dapan memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan
pasangannya.
2.
Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan
menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz semakna
dengan keduanya.
3.
Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad
yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wati’ (bersenggama),
bersenang-senang menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh
dikawininya (bukan mahram).
4.
Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad
dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh
kesenangan dengan seorang wanita.
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana
terlihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan
didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[5]
B.
DASAR HUKUM ANJURAN UNTUK KAWIN
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur
ayat 32 :
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).
Hadist
Rasulullah juga menjelaskan bahwa : ”barang siapa mampu kawin, maka hendaklah kawi, kemudian jika tidak mau
kawin, maka ia tidak tergolong ummatku. (HR. Al-Thabrani dan Al-Baihaqi). [6]
Perkawinan
memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana firman Allah SWT. :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).[7]
C.
Hukum Nikah
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan
keadaan pelakunya.dari tingkat kebutuhan yang berbeda ini, para ulama
mengklasifikasikan hukum perkawinan kepada beberapa kategori. Sebagian ulama
membaginya kepada lima kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan
sebagian ulama lainya membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :
a. Mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b.Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa
hukum melangsungkan perkawinan adalah sunat.
c. Dawud Zahiri mengatakan
bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib bagi orang muslim satu kali
seumur hidup.[8]
d.
Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum
dari perkawinan itu, yaitu :
1). Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya
mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan.
2). Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak
dan mampu untuk kawin tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina
3). Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi
nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak
4). Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah
syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya walaupun tidak merugikan
istri
5). Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua
alasan yang mewajibkan dan mengharamkan untuk kawin.[9]
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan
situasi dan akan kembali kepada hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[10]
D.
Rukun dan Syarat Perkawinan
Dalam melaksanakan pernikahan, syarat dan rukunnya harus terpenuhi.
Sebab akan berakibat pada sah atau
tidaknya pernikahan tersebut baik menurut hukum Islam maupun pemerintah. Bila
salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut
tidak sah.
1. Rukun pernikahan
Rukun nikah menurut versi As-Syafi’i yang diadopsi oleh
kompilasi hukum Islam pasal 14 meliputi lima hal, yaitu :
(1). Calon suami,
(2). Calon istri,
(3). Wali,
(4). Dua orang saksi, dan
(5). Shigat Ijab Qobul.[11]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun nikah terdiri dari :
1. Adanya Calon suami istri yang akan melakukan
pernikahan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan
3. Adanya dua orang saksi
4. Sighat akad nikah, yaitu ijab dan kabul
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah rukun nikah,
antara lain : Imam Malik menetapkan rukun nikah lima macam, yakni: wali, mahar,
calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad.
Menurut ulama’ hanafiyah menetapkan rukun nikah hanya dua, yaitu ijab
dan kabul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin
laki-laki. Sementara yang lain berpendapat bahwa rukun nikah ada empat, yaitu
ijab kabul, calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki dan wali.
2. Syarat nikah
Rukun nikah di atas mempunyai
persyaratan-persyaratan yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Syarat yang berhubungan dengan kedua calon mempelai
yaitu Mempelai Laki-laki dan perempuan
Dalam setiap akad nikah maka pihak yang melakukan akad
nikah itu mempunyai sifat ahliyatul ada’ yaitu baligh, berakal, dan
sehat serta tidak ada halangan hukum syara’ diantara keduanya. Dalam islam kedua
calon mempelai memenuhi persyarata sebagai berikut :
1.
Keduanya mempunyai identitas dan kederadaan yang jelas
2.
Keduanya beragama islam. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221
dijelaskan bahwa :
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ
مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah [2] :221).
3.
Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan.[12]
Di dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
disyaratkan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang memenuhi
kategori sebagai berikut:
1. Telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sedangkan
bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun
1974.
2. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan , lisan atau isyarat tetapi dapat juga berupa
diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
3. Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan
dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon
mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat
dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
4. Bagi calon suami dan calon istri yang akan
melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur
dalam Bab VI.
b. Syarat yang berhubungan dengan Wali
Wali merupakan salah satu rukun nikah. Wali nikah adalah
orang yang mengakadkan nikah menjadi sah. Seorang wali harus memenuhi
persayaratan menjadi wali nikah seperti:
1.
Islam,
2.
dewasa (baligh),
3.
mempunyai hak perwalian,[13]
4.
waras akalnya,
5.
tidak dipaksa,
6.
laki-laki yang cakap dan adil,
7.
tidak sedang ihram.[14]
Mengenai siapa yang lebih utama menjadi wali, para ulama’
berbeda pendapat. Mazhab syafi’i mengatakan bahwa wali itu ada di pihak
mempelai perempuan, dan yang lebih berhak dan lebih utama jadi wali adalah ayah
kandungnya dan bila ayah kandungnya tidak ada atau ada tetapi tidak bisa
melaksanakan hak-hak kewaliannya, baru bisa beralih kepada yang lain. Peralihan
hak wali dari ayah kepada yang lain, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
beralih kepada kakek, yaitu menurut garis lurus ke atas dan seterusnya menurut
urutannya. Sedangkan kemungkinan kedua adalah beralih kepada wali hakim.
Beralihnya perwalian dari ayah kepada garis lurus ke atas dan atau garis lurus
ke bawah dan seterusnya, hal ini terjadi bila ayahnya meninggal dunia, tidak
maujud karena tidak memenuhi syarat wali seperti sebab gila, bisu, sudah sangat
tua/uzur syar’i, sedang menjalani hukuman penjara, mafqud/tidak diketahui
alamatnya, bisa juga karena kafir/murtad. Sedangkan beralihnya wali kepada wali
hakim, hal ini terjadi apabila seluruh urutan pihak wali nasab sudah tidak ada
ataupun wali ada tetapi pada urutan paling dekat dari wali nasab ternyata
terdapat halangan untuk melaksanakannya, umpamanya, sedang mengerjakan ihram,
masih sedang menjalani hukuman penjara, atau karena wali yang berhak
menolak/adhal. Karena semua yang berhak menjadi wali terdapat halangan, maka
wali beralih kepada wali hakim.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yang termasuk
wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang
satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekeluargaan dengan calon mempelai wanita.
1. kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas
yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2. kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
3. kelompok kerabat paman , yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. kelompok saudara laki – laki kandung kakek,
saudara laki – laki seayah kakek dan keturunan laki – laki mereka.
c. Dua orang saksi
Mengenai syarat-syarat saksi sebagai penentu sahnya nikah
adalah sebagai berikut:
1. Saksi harus beragama Islam
2. Saksi adalah orang yang baligh dan berakal
3. Saksi harus mampu mendengar dan faham maksud
pembicaraan dua orang yang melakukan
akad nikah
4. Saksi itu adalah orang yang merdeka
5. tidak sedang ihram,[15] dan
6. Saksi itu orang
yang adil
Mengenai siapa yang boleh menjadi saksi, apakah laki-laki
atau perempuan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa saksi-saksi itu
disyaratkan dua orang laki-laki, tidak boleh gabungan dua perempuan dan satu
laki-laki. Mengenai hal ini di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa:
1. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi .
2. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli.
3. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
d. Ijab dan kabul
Ijab dilakukan
oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul dilakukan
oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat
nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab
ayat 37. Mengenai ijab dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan
bahwa:
1. Ijab dan Kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
2. Akad nikah dilaksanakan
sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat
mewakilkan kepada orang lain.
3. Yang berhak mengucapkan
Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4. Dalam hal-hal tertentu
ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon
mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil
atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5. Dalam hal calon
mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
e. Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak
calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk memberikanya sebelum
akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami
istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang
kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَرِيئًا
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ [4] : 4).[16]
E.
Tujuan Nikah (Perkawinan)
Tujuan perkawinan memiliki nilai
yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan
betina untuk sekadar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan yang
diajarkan Islam meliputi multiaspek. Perkawinan adalah satu-satunya syari’at
Allah yang menyiratkan banyak aspek didalamnya. Diantara aspek-aspek tersebut
adalah :
1.Aspek personal
a.
Untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara sah dan halal
antara laki-laki dan perempuan
Allah swt. Berfirman :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
” Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187).
b.Reproduksi generasi atau
untuk memperoleh keturunan
Allah SWT. berfirman :
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Sabda rasulullah saw. Yang
artinya : ”Nikahlah kamu, sesungguhnya aku menginginkan darimu ummat yang
banyak.”
2.Aspek sosial
a.
Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik
b.Membuat manusia kreatif
3.Aspek ritual
Dalam sebuah hadist nabi
Muhammad SAW. Dijelaskan :
”apabila seorang hamba menikah, sempurnalah sebagian
agamanya, maka bertakwalah kepada Allah akan sebagian yang lain.”
4.Aspek moral
5.Aspek kultural[18]
F.
Larangan Dalam Perkawinan
1. Perempuan-perempuan
yang boleh dinikahi dan yang haram dikawini
Perempuan yang tidak masuk dalam kategori di bawah ini
adalah boleh/halal untuk dikawini. Sedangkan yang
haram/dilarang adalah disebabkan:
1. Karena Nasab atau hubungan darah (keturunan) yaitu :
a. Ibu Kandung
b. Anak Perempuan kandung
c. Saudara Perempuan
d. Bibi dari Pihak Ayah
e. Bibi Dari Pihak Ibu
f. Keponakan atau Anak Perempuan Saudara Laki-laki
g. Keponakan atau Anak Perempuan Saudara Perempuan
2. Karena Perkawinan
a. Ibu Istri, Neneknya
dari pihak ibu, Neneknya dari pihak ayah, dsn ke atas
b. Anak tiri perempuan
yang ibunya sudah digaulinya
c. Istri anak kandung,
istri cucunya baik yang laki maupun perempuan dan seterusnya
d. Ibu tiri
3. Karena Susuan
a. Ibu susu
b. Ibu dari yang menyusui
c. Ibu dari bapak susunya
d. Saudara Perempuan dari
ibu susunya
e. Saudara perempuan bapak
susunya
f. Cucu perempuan ibu
susunya
g. Saudara perempuan
sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau sekandung[19]
Firman Allah swt. Dalam surat an-nisa’ ayat 23
Menerangkan bahwa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ
وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An- Nisa’ : 23).
Selain ketiga kategori di atas dilarang juga
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu seperti:
1. Karena wanita yang
bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
4. Memadu istrinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
istrinya: saudara sekandung, seayah, atau seibu serta keturunannya; wanita
dengan bibinya atau kemenakannya.
5. Laki-laki yang sedang
mempunyai 4 orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan
atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i
6. Wanita bekas istrinya
yang ditalak 3 kali
7. Wanita bekas istrinya
yang dili’an
8. Wanita Islam dengan
seorang yang tidak beragama Islam
G.
Hak dan Kewajiban Suami istri dalam rumah tangga
1. Kewajiban suami terhadap istri:
a. Kewajiban yang bersifat
materi yang disebut nafaqah.
Di dalam al-Qur’an
dikatakan:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ
لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ
تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Baqarah: 233).
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalaq: 7).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ
قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
” Mereka bertanya tentang
apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa
saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.(QS.
Al-Baqarah: 215)
Dari redaksi ayat-ayat di
atas dapat difahami bahwa nafkah merupakan pemberian suami atas istri. Ia
adalah hak istri dan merupakan kewajiban suami atas istrinya. Perkawinan
merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam kehidupan rumah tangga.
b. Kewajiban yang tidak
bersifat materi
yakni menggauli istri
secara baik dan patut, memimpin rumah tangga, menasehati istri dan memberi pelajaran
bila menyeleweng.
Di dalam al-Qur’an
dijelaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ
مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
” Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-Nisa’: 19)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ
” Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS. An-Nisa’: 34)
2. Kewajiban istri
terhadap suami
a. Menyenangkan suami
b. Patuh kepada suami
c. Memelihara kehormatan
diri dan harta suaminya
d. Tidak keluar rumah
tanpa izin suami
e. Tidak menerima tamu yang tidak
disukai suami
f. Tidak bermuka
asam/cemberut di hadapan suami
3. Hak bersama suami istri
a. Bolehnya bergaul dan
bersenang-senang diantara keduanya
b. Mendapat/ berprilaku
yang baik dan sewajarnya
c. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan
sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan
mushaharah
d. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak
mewarisi pihak lain bila terjadi kematian
e. Timbulnya hak harta bersama antara suami istri
f. haram melakukan pernikahan dengan saudara
masing-masing
4. Kewajiban bersama suami
istri
a. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari
perkawinan tersebut
b. Mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Alloh
untuk terwujud, yakni sakinan, mawaddah, warahmah
c. Pergaulan yang ma’ruf/saling menjaga rahasia masing-masing
d. Pergaulan yang aman dan tenteram
e. Pergaulan yang saling mencintai
f. Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni
H.
Hikmah Nikah
1. menyambung silaturrahmi
2. memalingkan pandangan
yang liar
3. menghindari diri dari
perzinahan
4. estafeta amal manusia
5. estetika kehidupan
6. mengisi dan
menyemarakkan dunia
7. menjaga kemurnian Nasab.[21]
8. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. ”dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang
9. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan
keturunan secara sah
10. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan
11. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara
dan mendidik anak sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk
membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya
12. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri
yang selama ini dipikul masing-masing pihak
13. Menyatukan keluarga masing-masing pihak sehingga
hubungan silaturrahim semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih
banyak
14. Memeperpanjang usia. Hasil penelitian masalah
kependudukan yang dilakukan PBB pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan
suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang
yang tidak menikah selama hidupnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat saya petik dari uraian
penjelasan diatas yaitu sebagai berikut : Pertama, Definisi tentang nikah Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha
mendefinisikan nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan
hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah
atau tazwij. Sedangkan Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana
terlihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan
didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kedua, hukum anjuran untuk menikah itu sudah jelas
sangat dianjurkan oleh Allah swt. Dalam firmanya surat An-Nur ayat 32. Dan Hukum
nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya.dari tingkat
kebutuhan yang berbeda-beda, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan
kepada beberapa kategori yaitu wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah (boleh).
Ketiga, Dalam melaksanakan
pernikahan, syarat dan rukunnya harus terpenuhi. Sebab akan berakibat pada sah atau tidaknya
pernikahan tersebut baik menurut hukum Islam maupun pemerintah. Dan syarat dan
rukun yang dimaksud tersebut sudah sangat jelas diuraikan diatas sehingga
apabila ada orang yang akan melakukan pernikahan maka harus memenuhi syarat dan
rukun tersebut sehingga pernikahan tersebut sah, tetapi apabila salah satu dari
syarat atau rukun nikah tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak
sah.
Keempat, Tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan
yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina untuk sekadar
memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan adalah satu-satunya syari’at
Allah yang menyiratkan banyak aspek didalamnya.
Kelima. Didalam pernikahan juga
telah disebutkan orang-orang yang boleh dinikahi dan haram untuk dinikahi karna
berkaitan dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan tersebut.
Keenam, inti dari hak dan
kewajiban suami istri dalam rumah tangga ialah memelihara kehormatan kedua
belah pihak dan membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
DAFTAR PUSTAKA
Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf. 2006.
TRADISI ISLAM : Panduan Proses Kelahiran - Perkawinan - Kematian.
Surabaya : Khalista.
Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan
Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H.. 2009. FIQIH MUNAKAHAT : Kajian Fiqih Nikah
Lengkap. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal,
Drs. R. Nasih Lc. 2010. Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi :
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar. Surabaya : Khalista.
Djamaan, Nur. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang : Dimas.
Junaedi, Dedi. 2000. Bimbingan Perkawinan : Membina Keluarga
Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Hakim, Drs. H. Rahmat. 2000. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Bandung
: CV. Pustaka Setia.
Saleh, H.E. Hassan. 2008. Kajian Fiqih
Nabawi dan Fiqih Kontemporer. Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada,
UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, (Jakarta : Wacana
Intelektual, 2007), hlm.22
Sulaiman, Al-Mufarraj. 2003. Bekal pernikahan : Hukum, Tradisi,
Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kta mutiara. Jakarta : Qisthi Press
[1] UU
RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, (Jakarta : Wacana Intelektual, 2007),
hlm.22
[2] Sulaiman
Al-Mufarraj, Bekal pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,
Wasiat, Kta mutiara, (Jakarta :
Qisthi Press, 2003), Hlm. 5
[3] Tihami, Prof. Dr. H.M.A.,
M.A., M.M. dan Sahrani, Drs. Sohari M.M., M.H., FIQIH MUNAKAHAT : Kajian
Fiqih Nikah Lengkap. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009), Hlm. 7
[4]
Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2000), Hlm. 11-12
[5]
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal,
Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi : Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar, (Surabaya : Khalista, 2010), Hlm. 8
[6]
Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf, TRADISI
ISLAM : Panduan Proses Kelahiran - Perkawinan - Kematian. Surabaya :
Khalista, 2006), Hlm. 90
[7]
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal,
Drs. R. Nasih Lc, Ibid, Hlm. 11
[8]
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dimas, 1993), Hlm. 9
[9]
Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan : Membina Keluarga Sakinah Menurut
Al-Qur’an dan As-sunnah, (Jakarta : AAkademika Pressindo, 2000), cet. 1,
Hlm. 27-33
[10]
Hakim Drs. H. Rahmat, Ibid, Hlm. 14
[11]
Saleh H.E. Hassan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Hml. 299. Lihat juga dibuku yang ditulis oleh
Drs. H. rahmat hakim, hukum perkawinan islam, hlm. 82
[12]
Saleh H.E. Hassan, Ibid, Hml. 301
[13]
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal,
Drs. R. Nasih Lc, Ibid, Hlm. 17
[16]
Saleh H.E. Hassan, Ibid, Hml. 313
[17] Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf, Ibid, Hlm.
107
[18]
Hakim Drs. H. Rahmat, Ibid, Hlm.
15-26
[19] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs.
Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 67 lihat juga dibuku yang ditulis
oleh Drs. H. Rahmat Hakim, hukum perkawinan islam, hlm. 54
[20] Tihami, Prof. Dr. H.M.A., M.A., M.M. dan Sahrani, Drs.
Sohari M.M., M.H., Ibid, Hlm. 154
[21] Hakim
Drs. H. Rahmat, ibid, hlm. 27-30
How to Play Baccarat Online | Learn the Rules of the Game - FBCasino
BalasHapusBaccarat 바카라 is a deccasino new card 제왕 카지노 game similar to playing a traditional casino game like slots. It was developed in the United States by Pariplay Limited and